Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menggambarkan analogi PSSI seperti sebuah skuad. Tentu aneh mengharapkan prestasi, jika skuadnya sendiri tidak kompak.
Dalam kelazimannya, sebuah klub atau skuad membutuhkan seorang nahkoda atau pemimpin, seorang yang bisa menggerakkan roda skuad menjadi sebuah gerakan satu arah menuju ke depan.
Maka, jangan heran jika melihat Manchester United begitu khawatir jika Sir Alex Ferguson nanti pensiun. Pria asal Skotlandia itu adalah nahkoda yang telah membawa skuad United meraih puluhan trofi. Dan tanpa sikap tegasnya, jangan harap skuad The Red Devils bisa kompak.
Semasa kepemimpinannya, Fergie tak segan mendepak pemain yang membangkang atau dianggapnya mengganggu stabilitas skuad. Baginya, yang harus diuntungkan cuma satu: klub itu sendiri. Para pemain boleh menjadi bintang, tapi apa gunanya jika klub tak berprestasi.
Sosok semacam Fergie-lah yang kemudian membuat seluruh anggota skuad mau tak mau kompak bekerjasama untuk kepentingan klub. Kalau sosok seperti ini, yang mampu membawa (atau memaksa) seluruh bagian bekerja demi kepentingan bersama, muncul di Indonesia, maka bahagialah kita.
Sekarang coba tengok kekisruhan di tubuh PSSI.
Alih-alih mencari orang yang tepat untuk menjadi nahkoda, setiap kubu yang merasa memiliki hak malah saling berseteru. Kubu A meneriakkan revolusi, sementara Kubu B meneriakkan reformasi. Namun, tak ada kesepakatan terjalin di antara keduanya. Padahal mereka masih sama-sama berada dalam skuad bernama "PSSI", yang sayangnya sama sekali tak ada kekompakan di dalamnya.
Jika diibaratkan pemain, figur-figur di dalamnya malah sibuk dengan pendapat masing-masing. Setiap pemain memiliki figur idealnya masing-masing mengenai sosok pelatih yang mereka inginkan. Benarkah mereka benar-benar memikirkan masa depan sepakbola itu sendiri?
"Sangat disayangkan, tentunya agar tetap bersatu sebagaimana bola itu sendiri. Sepakbola itu nggak bisa menang kalau timnya nggak kuat. Kalau PSSI-nya nggak jadi tim yang kuat gimana bisa jalan?" tanya JK.
Ketika setiap pihak meneriakkan revolusi, maka seyogyanya mereka sadar apa yang mereka teriakkan. Revolusi adalah perubahan menyeluruh, merombak dari atas hingga ke akar-akarnya, merombak kebiasaan yang sudah lalu dan tidak sekali-sekali mengulanginya lagi.
Di masa lalu, PSSI (atau sepakbola Indonesia) kental dengan pemaksaan kehendak, kepentingan sepihak dan keinginan untuk mempertahankan status sendiri. Kepentingan untuk memajukan sepakbola itu sendiri jadi terpingirkan.
Lalu, kalau sekarang masih ada sebuah pemaksaan kehendak, bagaimana revolusi itu bisa tercapai?
capek deh!!!!!!!!!!!!!!!
Dalam kelazimannya, sebuah klub atau skuad membutuhkan seorang nahkoda atau pemimpin, seorang yang bisa menggerakkan roda skuad menjadi sebuah gerakan satu arah menuju ke depan.
Maka, jangan heran jika melihat Manchester United begitu khawatir jika Sir Alex Ferguson nanti pensiun. Pria asal Skotlandia itu adalah nahkoda yang telah membawa skuad United meraih puluhan trofi. Dan tanpa sikap tegasnya, jangan harap skuad The Red Devils bisa kompak.
Semasa kepemimpinannya, Fergie tak segan mendepak pemain yang membangkang atau dianggapnya mengganggu stabilitas skuad. Baginya, yang harus diuntungkan cuma satu: klub itu sendiri. Para pemain boleh menjadi bintang, tapi apa gunanya jika klub tak berprestasi.
Sosok semacam Fergie-lah yang kemudian membuat seluruh anggota skuad mau tak mau kompak bekerjasama untuk kepentingan klub. Kalau sosok seperti ini, yang mampu membawa (atau memaksa) seluruh bagian bekerja demi kepentingan bersama, muncul di Indonesia, maka bahagialah kita.
Sekarang coba tengok kekisruhan di tubuh PSSI.
Alih-alih mencari orang yang tepat untuk menjadi nahkoda, setiap kubu yang merasa memiliki hak malah saling berseteru. Kubu A meneriakkan revolusi, sementara Kubu B meneriakkan reformasi. Namun, tak ada kesepakatan terjalin di antara keduanya. Padahal mereka masih sama-sama berada dalam skuad bernama "PSSI", yang sayangnya sama sekali tak ada kekompakan di dalamnya.
Jika diibaratkan pemain, figur-figur di dalamnya malah sibuk dengan pendapat masing-masing. Setiap pemain memiliki figur idealnya masing-masing mengenai sosok pelatih yang mereka inginkan. Benarkah mereka benar-benar memikirkan masa depan sepakbola itu sendiri?
"Sangat disayangkan, tentunya agar tetap bersatu sebagaimana bola itu sendiri. Sepakbola itu nggak bisa menang kalau timnya nggak kuat. Kalau PSSI-nya nggak jadi tim yang kuat gimana bisa jalan?" tanya JK.
Ketika setiap pihak meneriakkan revolusi, maka seyogyanya mereka sadar apa yang mereka teriakkan. Revolusi adalah perubahan menyeluruh, merombak dari atas hingga ke akar-akarnya, merombak kebiasaan yang sudah lalu dan tidak sekali-sekali mengulanginya lagi.
Di masa lalu, PSSI (atau sepakbola Indonesia) kental dengan pemaksaan kehendak, kepentingan sepihak dan keinginan untuk mempertahankan status sendiri. Kepentingan untuk memajukan sepakbola itu sendiri jadi terpingirkan.
Lalu, kalau sekarang masih ada sebuah pemaksaan kehendak, bagaimana revolusi itu bisa tercapai?
capek deh!!!!!!!!!!!!!!!
Komentar
Posting Komentar